Teman :
hey, datang ya ke nikahan kakak ku
Aku :
Oh, boleh ni..makan2..hehe
Teman :
datang ke kondangan niatnya koq makan2?, niatkan datang untuk ga sekedar
makan2, tapi juga mendoakan..
Aku :
Ooo, ada doanya ya? Mau donk..
Teman : iya, ini doanya, Baarakallaahu laka, wa baarakallaahu ‘alaika, wa jama’a bainakuma
fii khaiir....
Aku :
dihafal dulu yak, thanks..^^
***
Well, cerita diatas, cerita waktu sma, dimana
sahabat saya mengajarkan sebuah doa barakah pernikahan. Dan Alhamdulillah dari
situ jadi sedikit mengerti bahwa tujuan datang ke kondangan ga sekedar untuk datang
aja, kasih kado, makan2, nampain muka, salam, ucap selamat ke pengantinnya,
tapi ada yang lebih penting yaitu mendoakan keberkahan pernikahan mereka.
Sering kita mendengar ucapan selamat dari
orang2 agar pasangan pengantin itu bisa membentuk keluarga sakinah mawaddah
warahmah, atau ucapan “selamat ya udah nikah”, “moga banyak anak ya”, “moga
langgeng sampe kakek nenek”..dan banyak lagi, salahkah dengan semua itu ucapan
baik itu? Untuk tahu tentang hal ini, agak banyak saya ambil tulisan Salim A.
Fillah dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim dalam Bab Barakah J. Cekidot.
Ada
kegundahan besar dalam diri ‘Uqail ibn Thalib, sang pengantin, ketika mendengar
kawan2nya berdoa, “semoga bahagia dan banyak anak!” mudah2an sama dengan
kegundahan kita ketika mendengar doa “selamat menempuh hidup baru, semoga kekal
dunia akhirat!” atau doa, semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah
warahmah..Lho apa yang salah? Doa2 ini semuanya berisi harapan kebaikan. Apa
yang salah?
Kisah
‘Uqail ibn Thalib ini berujung sebuah sunnah yang sangat indah. Sebuah
pelajaran, sebuah doa. Sebuah tuntunan tentang bagaimana selaiknya kita
mendoakan orang yang menikah. Berkaitan dengan pembicaraan kita tentang
barakah, inshaallah ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga.
“Janganlah
kalian berkata demikian, karena sesungguhnya Rasulullah telah melarangnya” kata
“Uqail. Lalu bagaimana? Apa yang harus diucapkan? “Ucapkanlah”, sambung ‘Uqail,
“Baarakallaahu laka, wa baarakallaahu ‘alaika, wa jama’a
bainakuma fii khaiir..” Semoga
Allah karuniakan barakah kepadamu, dan semoga Ia melimpahkan barakah atasmu,
dan semoga Ia himpun kalian berdua dalam kebaikan.
Perhatikan
kata yang di italic, sesungguhnya bentuk gabungan preposisi+nomina la+ka
(kepada+mu) memiliki arti siratan yang berbeda dengan ‘alai+ka (atas+mu).
Yang pertama memberi siratan bahwa barakah kita harapkan pada hal2 yang kita sukai,
sedangkan yang kedua memberi pengertian bahwa barakah itu juga kita doakan
senantiasa ada dalam hal yang tidak kita sukai. Yang satu bersumsumkan hal2
yang ‘baik’, dan yang lain membawakan makna hal yang ‘buruk’.
Secara
garis besar, hidup ini isinya ya hanya dua yang tadi kita sebut: yang
kita sukai dan yang tidak. dan yang pasti, dua2nya ada. Kadang seiring, ada
kalanya bergantian, dan berselang seling. Dalam pernikahanpun demikian. Ada saat,
ada waktu, ada kala, ada kondisi, ada hal, ada keadaan, semuanya bisa dalam
konteks disukai dan tidak. tetapi dalam hal apapun itu, disukai atau dibenci,
menyenangkan maupun memprihatinkan, melahirkan tawa atau tangis, membuat gelak
maupun isak, kita senantiasa berharap ada barakah. Kita berdoa, baarakallaahu
laka wa baarakallahu ‘alaika, dan kita tutup dengan, “Semoga Allah himpun
kalian berdua dalam kebaikan.”
Sejatinya, apa itu barakah? Sepertinya ia begitu penting, begitu menyita prioritas.
Seperti itulah barakah. Seolah ia merangkum aneka harapan, yang sejatinya
berujung kebaikan. Bahagia, banyak anak, hidup yang baru, kekal dunia akhirat, sakinah
mawaddah wa rahmah. Itu semua harapan. Tentang bahagia dan banyak anak
misalnya, memilih calon pasannganpun kita diperintahkan untuk memilih yang
penyayang lagi subur, karena Rasulullah akan berbangga dengan banyaknya jumlah
ummatnya di hadapan ummat2 lain pada hari kiamat. Tetapi, ada yang bahagia hanya
di dunia saja. Ada yang banyak anak justru menjadi fitnah. Ada yang
kehidupannya yang baru bukan semakin dekat, tetapi semakin jauh dari Allah. Ada
yang kekal berpasangan dunia akhirat, tetapi abadi menggelegak di jahannam, seperti
Abu Lahab dan istrinya. Na’udzubillaahi min dzaalik..
Jadi,
apa yang menjadi perangkum, pengikat semua kebaikan dan kebahagiaan itu, agar
benar2 menjadi kemuliaan? Apa yang membuat banyak anak dan kehidupan baru
menjadi bermakna? Apa yang membuat sakinah, mawaddah, dan rahmah jauh
lebih bernilai dari sekedarnya saja?
Barakah.
Ya, barakah. Dan kita bertanya2, apa itu barakah. Sederhananya, barakah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita
alami waktu demi waktu. Ketika Allah
mencintai hambaNya, maka ia berkenan membuat hati sang hamba begitu peka. Saat ditenggelamkan
dalam lautan nikmat, ia peka dan tidak pernah melalaikan satu kata. Syukur. Lain
sisi, disaat Allah juga mengasahnya dengan gelombang musibah yang bertubi2, dia
tidak melupakan satu kata. Sabar.
Barakah
adalah keajaiban. Keajaiban yang hanya terjadi pada orang beriman. Jadi, yang dicinta
disisi Allah tak selalu mereka yang senantiasa tertawa dan gembira. Sebagaimana
bukan berarti dibenci Allah jika senantiasa merasakan kesempitan. Di dalam
sebuah pernikahan, barakah menjawab, barakah menjelaskan, menenangkan, dan
menyemangati. Bahwa apapun kondisinya, kemuliaan di sisi Allah bisa diraih.
Telah
begitu panjang pembicaraan kita tentang barakah, afwan. Maafkan saya. Tentu
yang lebih berharga saat ini adalah, bagaimana kita meraih barakah itu. Bagaimana
agar dalam kondisi apapun, kapanpun, dimanapun, nafas2 kita adalah hembusan
keberkahan, detik2 kita dihitung sebagai kebaikan, sebagai pahala. Bagaimana? Dimana
kita harus mencari barakah itu?
“jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
bukakan atas mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (Al A’raaf 96)
Shadaqallaah…kunci barakah itu ada pada keimanan dan
ketakwaan. Keimanan yang meyakinkan kita untuk terus beramal shalih menurut apa
yang telah dituntunkan Allah dalam tiap aspek hidup, semuanya. Dan ketaqwaan,
yang mengisi hari2 kita dengan penjagaan, kepekaan, dan rasa malu bahwa kita
senantiasa dalam pengawasan Allah. Dan jika hidup ini terasa menyiksa, kita
merasa semakin jauh dengan Alah..mari, mengajak diri kita untuk berkaca. Barangkali
ada nikmat Allah yang kita kufuri. Barangkali ada karunia yang kita dustakan. Atau
mungkin ada ayat-ayatNya yang kita permainkan. Astaghfirullaah. Astaghfirullaahal
‘Adhiim..
Wahai jiwaku yang mendamba barakah dalam
pernikahan sebagaimana saudara2mu telah mendoakan.. wahai diriku yang merindu
detik2 kebahagiaan dan kedekatan dengan Allah..inilah saatnya. Inilah waktunya
untuk menggapai pernikahan yang barakah itu. Jika engkau belum menikah, ada
kesempatan untuk mempersiapkan dan ada waktu untuk menata hati. Dan jika Engkau
telah menikah, tiada kata terlambat untuk mengisi hari2 kedepan dengan
perbaikan. Karena kita tak boleh berhenti belajar, dan tak terkenan istirahat
untuk terus memperbaiki diri.
~teruntuk teman2ku,
adin, chandra, munan, ipan-ulfa, dan lia
serta
semuanya yang telah menggenapkan setengah
dien,
Baarakallaahu laka, wa baarakallaahu ‘alaika,
wa jama’a
bainakuma fii khaiir..
“Semoga Allah memberi barakah kepadamu (dalam
suka) dan semoga Allah memberi barakah atasmu (dalam duka), dan semoga Ia
menghimpun kalian berdua dalam kebaikan.”
(HR. Sa’id ibn Manshur) dinilai Sahih