Tulisan ini saya ambil dari buku nya akh Salim A. Fillah yang berjudul Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim. Sebagai bahan bacaan yang dapat kita renungkan, tentang salah satu hal penting yang harus kita waspadai dan mudah2an kita bisa menjaga diri dari memakan makanan yang haram. Lebih lengkap nya ini tulisannya..
Ramadhan, Saatnya Bicara tentang Makanan
Ditengah terik membakar, peluh yang menetes-netes di pori, kita meresak akan sejuknya puasa. “Ajruki ‘alla qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu..” Adakah hari dimana sepoian lembut angin padang membelai begitu nikmat? Adakah waktu dimana syaithan dibelenggu, hingga hirupan nafas pun terasa mengandung kesalihan?
Ramadhan.. Malam-malam yang ditingkahi syahdu kalam Ilahi. Kecuali jika kita adalah syaithan dari golongan manusia, alangkah indahnya hari-hari itu. Saat shalat malam adalah aktivitas yang benar-benar ‘menghidupkan’. Saat kita begitu rajin, karena kokok ayam didahului dering weker. Kita menjadi Al Mustaghfiriina bil As-haar, yang menghiba ampun di waktu sahur. Dan kita menjadi pemburu kebaikan dalam penyegeraan berbuka bersama-sama, di Masjid.. Ta’jilan..
Siang itu betapa terik hati-hatinya kita, karena Allah tak membutuhkan lapar dan hausnya lisan yang terus berdusta, menggunjing, mencela, dan ke sana kemari menabur bunyi-bunyi kesiaan. Betapa hati-hatinya kita, karena ibadah ini rahasia: hanya aku dan Allah yang tahu. Lalu adakah kalimat syukur yang terasa begitu nikmat diucap seperti saat tetes pertama air membasahi kerongkongan?
Di sela-sela panggilan Ar Rayyan yang mengetuk-ngetuk, ditengah syahdu Kalamullah bicara tentang puasa, disaat keriut membunyi lambung, di waktu misik mewangi mulut dan lemah bertambah-tambah, para sahabat Ridhwaanullaahi ‘Alaihim Jamii’an disapa oleh kelembutanNya. Geliang tubuh mereka di ladang-ladang, peluh yang menguras daya, dan jihad yang berdarah-darah di saat shaum, disambut Allah dengan kalimat yang begitu dekat, begitu akrab, begitu mesra:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku ini dekat. Aku menjawab permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku..” (Al Baqarah 186)
Agungnya keakraban itu tampak dalam khithab (arah pembicaraan). Memang, orang beriman akan bertanya pada Rasulullah, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku.” Tetapi untuk menjawab pertanyaan itu, Allah tidak berfirman, “faqul inni qariib, maka katakanlah (hai Muhammad) bahwa Aku adalah dekat.” Allah mengubah khithab manjadi langsung dan merasuk kepada jiwa-jiwa imani, seolah tanpa perantara, “Faiini qariib, maka sesungguhnya Aku ini dekat.”
Inilah kedekatan. Dan Allah memilih kedekatan yang menggambarkan siapa Dia dan siapa kita. Allah memilih kedekatan yang menunjukkan keagungan dan kasih sayangNya, sekaligus melukiskan hajat dan harap hamba pada Rabbnya, Itulah dia. Itulah istijabah (respon, pengabulan). “..Aku menjawab permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku..” Disaat puasa mengeringkan bibir, memayahkan jasad, namun memperkaya jiwa, berdoalah pada Allah. Sebab Rasulnya telah menjaminkan,
“Sesungguhnya, Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka di tiap siang dan malam bulan Ramadhan, dan sesungguhnya tiap muslim yang berdoa, maka akan dikabulkan baginya.” (HR Al Bazzar [3142], Ahmad [2/254] dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Jabir, dan Ibnu Majah [1643] dari jalan lain yang kesemuanya shahih)
Dalam hadits lain disebutkan mereka-mereka yang tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, mujahid di jalan Allah, dan orang yang berpuasa hingga dia berbuka. Atau riwayat lain lagi: pemimpin yang adil musafir yang melakukan perjalanan bukan dalam rangka ma’shiat, dan orang yang berpuasa. Selalu ada orang yang berpuasa pada keduanya, Tetapi apa syarat kedekatan yang menentramkan hati-hati imani ini?
“..Maka hendaklah mereka itu mengistijabahiKu dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. Dan agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al Baqarah 186)
Istijabah dan iman. Iman telah kita pahami sedikit, walhamdulillaah. Sedang istijabah bermakna memenuhi seruan-seruan Allah saat ia memanggil kita menuju kebaikan, keberkahan, dan sesuatu yang membuat kita hidup sebenar hayat.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Allah dan Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu..” (Al Anfaal 24)
Salah satu seruan yang menghidupkan itu adalah seruan kepada jiwa-jiwa beriman tentang makanan. Ya, tentang makanan.
Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (Al Baqarah 172)
Suatu hari, Kanjeng Nabi membacakan ayat ini kepada para sahabatnya. Keagungan perintah ini, kata beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah bahwa ia menjadi seruan yang Allah tujukan pada para RasulNya (Al Mukminun 51), pada orang yang beriman (Al Baqarah 172), dan juga pada sekalian manusia (Al Baqarah 168). Betapa ia meliput semua. Pernah suatu hari, demikian sang Nabi berkisah, ada seorang musafir kehabisan bekal dalm perjalanannya di tengah pepasir yang membarakan terik. Wajahnya penuh debu, tenaganya tinggal sisa-sisa dalam rangkakan yang dipenuhi harap-harap terakhir. Dengan kekuatan terakhir yang dimiliki, diangkatnya kedua lengannya tengadah, “Ya Rabb.. Ya Rabb.. Ya Rabb..”
Sesungguhnya orang ini memiliki aneka syarat untuk dijawab dan dkabulkan doanya. Catat ini: musafir, bertauhid (hanya berharap pada Allah), dan mengangkat tangannya pada Allah, padahal Allah malu jika ada tangan terangkat berharap padaNya lalu Ia tak memberi karunia. Hal-hal yang ada dalam dirinya telah memenuhi kondisi untuk terjawabnya doa. “Tetapi”, kata Sang Nabi, “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan, sementara makanan yang ada di perutnya dari barang haram, pakaian yang dipakainya dari barang haram?!!”
Ya, soal makanan adalah soal dijawab atau tidaknya doa kita. Haram atau halalnya, thayyib atau khabitsnya. Suatu hari, seorang sahabat yang dijanjikan surga, Sa’ad ibn Abi Waqqash mengaukan permintaan cerdas -sangat cerdas menurut saya- kepada manusia yang dicintainya, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. “Ya Rasulullah..” katanya, “Doakanlah pada Allah agar doa-doaku ini mustajabah!” Antum tahu betapa cerdasnya permintaan ini?
Bagaimanapun, manusia mulia itu tidak langsung mengiyakan. Beliau tersenyum pada orang yang pernah beliau banggakan sebagai paman, -“Ini pamanku, ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian”-, dan yang dalam panahnya pernah ia kumpulkan ayah dan ibunya, -”Panahlah hai Sa’ad, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu!”- beliau lalu bersabda padanya, “Wahai Sa’ad, bantulah aku dengan memperbaiki makananmu..Bantulah aku dengan memperbaiki makananmu..”
Ramadhan, dalam makna yang dekat dengan perut adalah saat kita mampu menjaga makanan kita agar terjaminkan kedekatan agung dengang Allah. Di saat puasa, kita jaga pencernaan kita dari yang halal dan thayyib sejak terbit fajar hingga terbenamnya mentari semata karena mantaati Allah dan mencintaiNya. Maka sungguh ia menjadi cermin, bahwa di luar ramadhan, kita harus menjaganya dari yang syubhat dan yang haram. Jika dari yang halal saja kita bisa menjaga –selama Ramdhan-, maka dari yang syubhat, apalagi haram, insyaallah kita bisa. Kita bisa! Maka itulah makna puasa. Itulah produknya. Itulah taqwa dalam maknanya bagi perut kita: berhati-hatilah menjaga makananmu!
Karena sekerat daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih layak baginya. Karena darah yang mengalir dari saripati makan haram, syaithan berselancar ria di pembuluh-pembuluhnya. Karena anggota tubuh yang dialirinya, mudah teresonansi oleh frekuensi kema’shiatan. Tergetar hati kita bukan oleh asma Allah, tetapi oleh selainnya. Berdesir jantung kita bukan oleh kalimat-kalimatNya yang suci mulia, tetapi justru oleh huruf, suara, dan rerupa yang menjijikan nista.
Jagalah makananmu, begitu Ramadhan berpesan. Karena, betapa setiap tetes barang haram menjauhkan kita dari Allah selautan. Setiap keratnya, menghalangi doa-doa dan komunikasi mesra kita denganNya sekuat beton berlapis juta. Digenerasi kita, ada heran mendengar bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja. “Maaf, setahu saya hampir semua muntah nggak sengaja?!” Kita lupa, bahwa para sahabat begitu menjaga pencernaannya, hingga jika tahu ada keraguan dalam suapan yang baru saja tertelan, mereka akan segera berlomba memuntahkan. Dulu, muntah dengan sengaja bukan hal aneh, tapi kini ia menjadi barang langka.
Semoga pesan Ramadhan pada perut kita menggema hingga ke liuk-liuk usus. Allahumma Innaka ‘Afuwwun, Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Annii.. Disayup tilawah tadarus malam, proklamasi langit itu menggema, “Adapun puasa itu untukKu, dan Aku sendirilah yang akan memberikan pahalanya..”
Marhabban Yaa Ramadhan. Kini ramadhan telah datang, semoga kita dapat benar-benar memuliakan dan berfastabiqul khairat di bulan penuh berkah ini.